ESSAY
TRANSFORMASI HIJAB DI KALANGAN GENERASI
MUDA INDONESIA SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN STATUS STRATA SOSIAL
Dalam tema ;
“Budaya Arab yang di serap di
Indonesia”
Oleh :
Aminah Islamiyah
“Budaya” satu
kata yang mencangkup segala aspek dalam kehidupan manusia. Prinsip dan
implikasi di setiap Negara tidak akan terlepas dari pengaruh interaksi dengan
Negara lain, baik prinsip berupa keyakinan, agama maupun suatu hal yang
sifatnya hanya sebagai pelengkap kehidupan itu sendiri. Dengan kata lain,
globalisasi akan senantiasa menghasilkan akulturasi yang terlahir di
tengah-tengah masyarakat terutama di Indonesia. Seperti halnya sejarah
Indonesia yang menyatakan bahwa permulaan dari terbentuknya sebuah Negara
Indonesia ini adalah dimulai dari adanya interaksi atau kunjungan
manusia/bangsa dari Negara-negara lain. Terlepas dari berbagai macam motif dan
tujuan kunjungan bangsa-bangsa tersebut, tentunya masyarakat Indonesia secara alamiahnya
terbentuk dengan berbagai macam pengaruh
dari bangsa-bangsa luar tersebut, termasuk dalam prinsip berpakaian. Sebelum
masyarakat Indonesia mengenal akan islam, hijab dan jilbab, mereka menjalani
kehidupan sesuai dengan konsep non-islam yang mereka ketahui, seperti halnya
dalam pakaian berupa hijab, wanita pada masa itu tepatnya 1400 M atau 6 abad
yang lalu memang sudah mengenal pakaian penutup kepala dan itu tentunya hanya
bermakna sebagai penutup kepala berupa selendang atau kain yang hanya dilampirkan
diatas kepala atau bahkan mereka sanggulkan di punggung mereka. Akan tetapi,
setelah bangsa Arab mengunjungi Indonesia melalui wilayah barat Nusantara dan
sekitar Malaka, maka masuklah ajaran-ajaran Islam dan kebudayaannya di tengah
masyarakat Indonesia, terutama dalam prinsip berpakaian pada wanita muslimah.
Pada dasarnya
Islam memiliki prinsip berpakaian yang sangat detail pada wanita muslimah,
dimana wanita muslimah diwajibkan untuk menggunakan hijab dengan berbagai
aturan yang mengindikasikan kepada kesopanan, kerapihan, kehormatan dan
ketaatan pada Alloh SWT. Jilbab/kerudung
sebagai penutup kepala merupakan salah satu bagian terpenting dalam pakaian
Islam yang memiliki perintah tersendiri dalam Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 31 :
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka …..”.
Ini
merupakan perintah Alloh kepada wanita beriman untuk menggunakan kerudung
(penutup kepala) dengan aturan hingga menutup dada mereka. Masih sangat banyak
ayat lain dalam al-qur’an yang menyatakan perintah akan menutup aurat dengan
hijab, jilbab dan kerudung.
Melalui perkembangan jaman, khususunya di Indonesia saat ini sudah
menjadi suatu hal yang sangat lumrah ketika kita melihat kaum wanita siapapun,
dimanapun, dan kapanpun dapat menggunakan jilbab/kerudung ini. Bahkan melalui
perkembangan jaman pula, istilah jilbab/kerudung di Indonesia telah mengalami pergantian
istilah menjadi “hijab”. Pada tahun 2000an ini, media elektronik telah menjadi
senjata utama penyebar istilah “hijab” sebagai bagian dari pakaian penutup
kepala. Hijab merupakan istilah bahasa arab yang
artinya “penghalang” atau “penutup”. Biasanya yang paling umum terlihat di
masjid-masjid, sebagai penghalang ataupun pembatas antara jamaah laki-laki dan
perempuan. Apapun yang membatasi ataupun menutupi antara laki-laki dan
perempuan maka disebut hijab. Selain itu, beberapa ulama juga menyimpulkan
bahwa hijab merupakan batasan yang dibuat antara laki-laki dan perempuan, mulai
dari pakaian, sikap, tingkah laku, sampai dengan pikiran. Sehingga sebenarnya,
istilah hijab tidak mengacu pada salah satu jenis kelamin tertentu. Akan
tetapi, perubahan makna yang berkembang di masyarakat Indonesia nampaknya telah
terjadi. Hijab seringkali lebih diidentikan dengan jilbab atau kerudung. Hijab
lebih mengacu pada pakaian. Selain itu, hijab juga lebih terkonstruksi menjadi
sebuah jenis fashion.
Penggunaan
kerudung yang merajalela sejak munculnya demam ayat-ayat cinta dan film maupun
novel bernafaskan islam lainnya dan menggunakan kata “hijab” sebagai wanita
pengguna kerudung, menyebabkan timbulnya pengertian baru dari istilah hijab
ini. Hijab mengalami penyempitan makna. Hal ini juga terlihat terutama dalam
majalah-majalah fashion hijabers maupun blog-blog hijabers yang
menampilkan segudang tutorial berkerudung dan desain-desain dari hijab itu
sendiri. Melalui media-media ini maka kita akan sangat mudah menemukan
mayoritas wanita di Indonesia saat ini menggunakan hijab (dalam hal ini
kerudung) dengan sejuta gaya dan model yang menurut mereka sesuai dengan
gaya/tren yang saat ini sedang terkenal. Mereka yang beragama islam mayoritas
menggunakan jilbab, terlihat jelas di
sekolah-sekolah, kampus-kampus, kantor-kantor pemerintahan bahkan di dunia entertaiment
dan di tengah masyarakat kelas sosialita sekalipun. Hal ini
mengakibatkan hijab bukanlah menjadi suatu barang yang khusus lagi melainkan
menjadi suatu hal yang lumrah. Lalu muncul cara berjilbab (berhijab) yang
mengikuti fashion. Hal ini muncul sebagai modifikasi dari cara memakai jilbab
yang syar’i menurut islam atau bisa
dikatakan konvensional. Para pengguna jilbab (hijab) model inilah yang menyebut
dirinya sebagai Hijabers. Akibatnya, bias persepsi secara kognitif pun terjadi.
Masyarakat umum lebih mengartikan hijab sebagai model jilbab yang trendi atau
mengikuti gaya yang ada, tidak lagi seperti arti harfiahnya. Istilah hijab pun
akhirnya menjadi semakin umum akan tetapi dengan makna yang bias dari arti
sebenarnya.
Desainer-desainer
hijab, hijab bloger dan public figure saat ini telah menjadi inspirator
utama bagi mayoritas wanita di Indonesia dalam mengenakan hijab. Para
inspirator tersebut memadu-padankan berbagai mode atau gaya fashion busana luar
negeri dengan hijab di Indonesia, tentunya dari Negara Eropa yang masih menjadi
trend satter fashion saat ini dan juga dari Negara Timur Tengah yang
memiliki identitas budaya keislaman yang sangat kental. Walaupun tentunya juga,
kita dapat mengakui bahwa Indonesia memang sangat berpotensi menjadi trend
satter moslem fashion di dunia kelak pada tahun 2020 nanti sesuai
dengan yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia bersama hijabers Indonesia.
Padu-padanan kreatifitas gaya hijab ini melahirkan berbagai macam bentuk dan
gaya hijab yang mengalami akulturasi sehingga juga melahirkan banyak nilai yang
dapat diserap oleh prespektif masing-masing. Penyerapan budaya fashion Eropa
ini terlihat dari desain-desain hijab yang bermotif glamour, warna-warni,
cerah dan tentunya stylish, dan Dian Pelangi adalah salah satu desainer
hijab yang menerapkan gaya hijab ini. Sedangkan gaya hijab Timur Tengah
yang lebih dikenal dengan karakteristik mewah, gold dan tentunya elegant
ini juga banyak diserap oleh desainer Indonesia salah satunya yaitu Jenahara.
Karena sebagian besar gaya berbusana para muslimah Hijabers
berkiblat dari budaya luar yang disebar oleh media elektronik dan media massa
seperti sosial media atau jejaring sosial, majalah elektronik dan lain
sebagainya. Atas kehendak media pula lah, gaya hijabers ini menjadi gaya
nasional masa kini yang kemudian fenomena ini disebut budaya popular untuk fashion
style.
Menurut Strinati (Bing Tedjo, 2007) mengemukakan bahwa budaya
populer adalah budaya yang lahir atas kehendak media. Artinya, jika media mampu
memproduksi sebuah bentuk budaya, maka publik akan menyerapnya dan
menjadikannya sebagai sebuah bentuk kebudayaan. Populer yang dibicarakan disini
tidak terlepas dari perilaku konsumsi dan determinasi media massa terhadap
publik yang bertindak sebagai konsumen.
Untuk mempermudah penyebarluasan tren hijab
ini, hijabers ini juga membuat sebuah komunitas-komunitas yang dinamakan Hijabers
Community. Komunitas-komunitas ini melahirkan identitas sosial yang berbeda
dengan pengguna hijab pada umumnya (non-komunitas). Hasil
penelitian Rima Hidayati (2012) dalam Komunitas
Hijabers Makassar, Komunitas
Hijabers menggambarkan identitas mereka yang ekslusif, konsumtif dan komersial.
- Identitas yang ekslusif,
karena mereka memiliki image tersendiri serta berupaya membentuk
keunikan mereka dengan gaya hidup, penggunaan bahasa, tempat pilihan serta
kegiatan rutin tertentu.
-
Identiitas konsumtif, karena kebiasaan pilihan-pilihan
tempat berkumpul serta bersantai mereka adalah tempat untuk kalangan menengah keatas
yang arti tempat dimana segala barang atau makanan yang dijajakan tidaklah
murah.
- Identitas komersial,
dikarenakan program-program komunitas ini dianggap mengesampingkan sisi
religiutas agama dengan menggelar event bergengsi seperti fashion show
untuk wanita berjilbab, kegiatan show
off bukanlah yang bukan dilandasi nilai religius. Secara ekonomi,
untuk menjadi anggota yang aktif dan mengikuti program komunitas Hijabers
tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan ketiga identitas ini cukup menggolongkan komunitas hijabers
ini secara sendirinya termasuk dalam kelas sosial yang tinggi dan memiliki
status sosial tersendiri. Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu (Gidden, 2005)
melihat kelompok kelas dapat diidentifikasi menurut tingkat mereka bervariasi
dari modal budaya dan ekonomi. Ia menilai bahwa individu saat ini tidak lagi
membedakan diri menurut faktor ekonomi saja akan tetapi juga menurut selera
budaya dan perburuan kesenangan. Bagi Giddens, hal ini ada kaitannya dengan
faktor-faktor budaya seperti pola gaya hidup dan konsumsi. Identitas individu
disusun untuk tingkat yang lebih besar sekitar pilihan gaya hidup - seperti
cara berpakaian, cara makan, cara merawat tubuh seseorang, tempat untuk
bersantai - dan kurang lebih sekitar indikator kelas tradisional seperti
pekerjaan.
Stratifikasi dalam kelas atau antar kelas tidak lagi tergantung
hanya pada perbedaan ekonomi akan tetapi juga cenderung terletak pada perbedaan
dalam konsumsi dan gaya hidup. Hal ini didasarkan pada tren dalam masyarakat
secara keseluruhan. Ekspansi yang cepat dari ekonomi jasa dan industri hiburan
dan rekreasi, misalnya mencerminkan peningkatan penekanan pada konsumsi di
negara-negara industri. Masyarakat modern telah menjadi masyarakat konsumen,
yang sengaja diarahkan untuk perolehan barang material.
Dengan adanya status sosial yang tertera pada hijabers inilah yang
membuat banyak wanita di Indonesia berusaha untuk mencapai lingkungan tersebut
dengan menggunakan hijab sebagai “alat” kunci masuk strata sosial tersebut. Saat
ini, bisa kita temukan dengan mudah siswi-siswi sekolah, mahasiswi-mahasiswi,
dan wanita muslimah di Indonesia yang banyak merelakan uangnya untuk mereka
belikan berbagai macam hijab yang motif dan gayanya sudah tak terhitung lagi
kreatifnya. Muslimah-muslimah ini mencoba mempercantik penampilannya dengan
pakaiannya sehingga dapat dinilai sebagai “hijabers” oleh lingkungan mereka dan
juga hanya sekedar untuk mendapatkan kesan stylish/fashionable sesuai
fenomena hijabers yang mereka lihat dari media-media elektronik.
Upaya menaikkan strata sosial secara naluriah ini memang tidak
nampak pada kasat mata ummu di kalangan masyarakat, karena usaha menaikkan
strata sosial merupakan aktifitas individu yang sifatnya akan langsung
berhubungan dengan niat manusia tersebut. Oleh karena itu, eksistensi dan
komitmen penggunaan hijab akan selalu terikat dengan hati para penggunanya,
karena setiap hijaber pada dasarnya pasti mengetahui apa alasan/motif ia
menggunakan hijab tersebut. Yang menjadi pertanyaan dunia adalah, apakah kelak
ketika hijab fashion di dunia telah mengalami masa redup dan jatuh pada
kelunturan strata sosial, wanita di dunia khususnya muslimah di Indonesia masih
akan mengejar tren hijab dan mengenakan hijab dalam kehidupan mereka?. Jawaban
dari pertanyaan ini hanya waktu yang akan membuktikannya kelak.
Pada akhirnya, tren fashion busana memang tidak bisa manusia
hindari, akan tetapi keyakinan akan prinsip hidup-pun adalah kunci utama tujuan
hidup manusia sehingga dalam setiap sikap yang manusia ambil di kehidupannya
pastinya harus berdasarkan prinsip keyakinan manusia tersebut, dalam hal ini
hijab sebagai pakaian dan islam adalah agama yang sempurna telah memiliki
petunjuk yang sangat jelas dan tepat mengenai hijab (kerudung) dan cara penggunaannya.
Upaya meningkatkan status strata sosial oleh konsumen media yang
mayoritas merupakan generasi muda saat ini juga mengakibatkan terjadinya
degradasi keimanan dan mengikisnya nilai syari’at pada konsep hijab wanita
muslimah. Tentunya hal ini menggambarkan fenomena miris dalam hal konsistensi
syari’at islam yang dialami oleh kaum muslim khususnya di Indonesia.
Sebagai genarasi muslim yang berstatus akademis intelektual,
selayaknya kita dapat secara perlahan turut memperbaiki dan menata kembali
paradigma masyarakat mengenai konsepsi hijab yang sebenarnya sesuai dengan
ajaran Islam. Usaha ini dapat dilakukan dengan menyebarluaskan konsep hijab
syar’i melalui teknik entrepreneur dengan menggunakan semua media
sebagai alat utama dan menjadikan konsep hijab syari menjadi budaya popular dan
dapat di terima oleh masyarakat khususnya wanita Muslimah di Indonesia.
REFERENSI ESSAY
-
Hardiyanti,
Rima. (2012) THE COMMUNITY OF CONTEMPORARY VEIL “HIJABERS” IN MAKASSAR CITY.
Universitas Hasanudin; Makasar .
ESSAY
TRANSFORMASI HIJAB DI KALANGAN GENERASI
MUDA INDONESIA SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN STATUS STRATA SOSIAL
Dalam tema ;
“Budaya Arab yang di serap di
Indonesia”
Oleh :
Aminah Islamiyah
“Budaya” satu
kata yang mencangkup segala aspek dalam kehidupan manusia. Prinsip dan
implikasi di setiap Negara tidak akan terlepas dari pengaruh interaksi dengan
Negara lain, baik prinsip berupa keyakinan, agama maupun suatu hal yang
sifatnya hanya sebagai pelengkap kehidupan itu sendiri. Dengan kata lain,
globalisasi akan senantiasa menghasilkan akulturasi yang terlahir di
tengah-tengah masyarakat terutama di Indonesia. Seperti halnya sejarah
Indonesia yang menyatakan bahwa permulaan dari terbentuknya sebuah Negara
Indonesia ini adalah dimulai dari adanya interaksi atau kunjungan
manusia/bangsa dari Negara-negara lain. Terlepas dari berbagai macam motif dan
tujuan kunjungan bangsa-bangsa tersebut, tentunya masyarakat Indonesia secara alamiahnya
terbentuk dengan berbagai macam pengaruh
dari bangsa-bangsa luar tersebut, termasuk dalam prinsip berpakaian. Sebelum
masyarakat Indonesia mengenal akan islam, hijab dan jilbab, mereka menjalani
kehidupan sesuai dengan konsep non-islam yang mereka ketahui, seperti halnya
dalam pakaian berupa hijab, wanita pada masa itu tepatnya 1400 M atau 6 abad
yang lalu memang sudah mengenal pakaian penutup kepala dan itu tentunya hanya
bermakna sebagai penutup kepala berupa selendang atau kain yang hanya dilampirkan
diatas kepala atau bahkan mereka sanggulkan di punggung mereka. Akan tetapi,
setelah bangsa Arab mengunjungi Indonesia melalui wilayah barat Nusantara dan
sekitar Malaka, maka masuklah ajaran-ajaran Islam dan kebudayaannya di tengah
masyarakat Indonesia, terutama dalam prinsip berpakaian pada wanita muslimah.
Pada dasarnya
Islam memiliki prinsip berpakaian yang sangat detail pada wanita muslimah,
dimana wanita muslimah diwajibkan untuk menggunakan hijab dengan berbagai
aturan yang mengindikasikan kepada kesopanan, kerapihan, kehormatan dan
ketaatan pada Alloh SWT. Jilbab/kerudung
sebagai penutup kepala merupakan salah satu bagian terpenting dalam pakaian
Islam yang memiliki perintah tersendiri dalam Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 31 :
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka …..”.
Ini
merupakan perintah Alloh kepada wanita beriman untuk menggunakan kerudung
(penutup kepala) dengan aturan hingga menutup dada mereka. Masih sangat banyak
ayat lain dalam al-qur’an yang menyatakan perintah akan menutup aurat dengan
hijab, jilbab dan kerudung.
Melalui perkembangan jaman, khususunya di Indonesia saat ini sudah
menjadi suatu hal yang sangat lumrah ketika kita melihat kaum wanita siapapun,
dimanapun, dan kapanpun dapat menggunakan jilbab/kerudung ini. Bahkan melalui
perkembangan jaman pula, istilah jilbab/kerudung di Indonesia telah mengalami pergantian
istilah menjadi “hijab”. Pada tahun 2000an ini, media elektronik telah menjadi
senjata utama penyebar istilah “hijab” sebagai bagian dari pakaian penutup
kepala. Hijab merupakan istilah bahasa arab yang
artinya “penghalang” atau “penutup”. Biasanya yang paling umum terlihat di
masjid-masjid, sebagai penghalang ataupun pembatas antara jamaah laki-laki dan
perempuan. Apapun yang membatasi ataupun menutupi antara laki-laki dan
perempuan maka disebut hijab. Selain itu, beberapa ulama juga menyimpulkan
bahwa hijab merupakan batasan yang dibuat antara laki-laki dan perempuan, mulai
dari pakaian, sikap, tingkah laku, sampai dengan pikiran. Sehingga sebenarnya,
istilah hijab tidak mengacu pada salah satu jenis kelamin tertentu. Akan
tetapi, perubahan makna yang berkembang di masyarakat Indonesia nampaknya telah
terjadi. Hijab seringkali lebih diidentikan dengan jilbab atau kerudung. Hijab
lebih mengacu pada pakaian. Selain itu, hijab juga lebih terkonstruksi menjadi
sebuah jenis fashion.
Penggunaan
kerudung yang merajalela sejak munculnya demam ayat-ayat cinta dan film maupun
novel bernafaskan islam lainnya dan menggunakan kata “hijab” sebagai wanita
pengguna kerudung, menyebabkan timbulnya pengertian baru dari istilah hijab
ini. Hijab mengalami penyempitan makna. Hal ini juga terlihat terutama dalam
majalah-majalah fashion hijabers maupun blog-blog hijabers yang
menampilkan segudang tutorial berkerudung dan desain-desain dari hijab itu
sendiri. Melalui media-media ini maka kita akan sangat mudah menemukan
mayoritas wanita di Indonesia saat ini menggunakan hijab (dalam hal ini
kerudung) dengan sejuta gaya dan model yang menurut mereka sesuai dengan
gaya/tren yang saat ini sedang terkenal. Mereka yang beragama islam mayoritas
menggunakan jilbab, terlihat jelas di
sekolah-sekolah, kampus-kampus, kantor-kantor pemerintahan bahkan di dunia entertaiment
dan di tengah masyarakat kelas sosialita sekalipun. Hal ini
mengakibatkan hijab bukanlah menjadi suatu barang yang khusus lagi melainkan
menjadi suatu hal yang lumrah. Lalu muncul cara berjilbab (berhijab) yang
mengikuti fashion. Hal ini muncul sebagai modifikasi dari cara memakai jilbab
yang syar’i menurut islam atau bisa
dikatakan konvensional. Para pengguna jilbab (hijab) model inilah yang menyebut
dirinya sebagai Hijabers. Akibatnya, bias persepsi secara kognitif pun terjadi.
Masyarakat umum lebih mengartikan hijab sebagai model jilbab yang trendi atau
mengikuti gaya yang ada, tidak lagi seperti arti harfiahnya. Istilah hijab pun
akhirnya menjadi semakin umum akan tetapi dengan makna yang bias dari arti
sebenarnya.
Desainer-desainer
hijab, hijab bloger dan public figure saat ini telah menjadi inspirator
utama bagi mayoritas wanita di Indonesia dalam mengenakan hijab. Para
inspirator tersebut memadu-padankan berbagai mode atau gaya fashion busana luar
negeri dengan hijab di Indonesia, tentunya dari Negara Eropa yang masih menjadi
trend satter fashion saat ini dan juga dari Negara Timur Tengah yang
memiliki identitas budaya keislaman yang sangat kental. Walaupun tentunya juga,
kita dapat mengakui bahwa Indonesia memang sangat berpotensi menjadi trend
satter moslem fashion di dunia kelak pada tahun 2020 nanti sesuai
dengan yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia bersama hijabers Indonesia.
Padu-padanan kreatifitas gaya hijab ini melahirkan berbagai macam bentuk dan
gaya hijab yang mengalami akulturasi sehingga juga melahirkan banyak nilai yang
dapat diserap oleh prespektif masing-masing. Penyerapan budaya fashion Eropa
ini terlihat dari desain-desain hijab yang bermotif glamour, warna-warni,
cerah dan tentunya stylish, dan Dian Pelangi adalah salah satu desainer
hijab yang menerapkan gaya hijab ini. Sedangkan gaya hijab Timur Tengah
yang lebih dikenal dengan karakteristik mewah, gold dan tentunya elegant
ini juga banyak diserap oleh desainer Indonesia salah satunya yaitu Jenahara.
Karena sebagian besar gaya berbusana para muslimah Hijabers
berkiblat dari budaya luar yang disebar oleh media elektronik dan media massa
seperti sosial media atau jejaring sosial, majalah elektronik dan lain
sebagainya. Atas kehendak media pula lah, gaya hijabers ini menjadi gaya
nasional masa kini yang kemudian fenomena ini disebut budaya popular untuk fashion
style.
Menurut Strinati (Bing Tedjo, 2007) mengemukakan bahwa budaya
populer adalah budaya yang lahir atas kehendak media. Artinya, jika media mampu
memproduksi sebuah bentuk budaya, maka publik akan menyerapnya dan
menjadikannya sebagai sebuah bentuk kebudayaan. Populer yang dibicarakan disini
tidak terlepas dari perilaku konsumsi dan determinasi media massa terhadap
publik yang bertindak sebagai konsumen.
Untuk mempermudah penyebarluasan tren hijab
ini, hijabers ini juga membuat sebuah komunitas-komunitas yang dinamakan Hijabers
Community. Komunitas-komunitas ini melahirkan identitas sosial yang berbeda
dengan pengguna hijab pada umumnya (non-komunitas). Hasil
penelitian Rima Hidayati (2012) dalam Komunitas
Hijabers Makassar, Komunitas
Hijabers menggambarkan identitas mereka yang ekslusif, konsumtif dan komersial.
- Identitas yang ekslusif,
karena mereka memiliki image tersendiri serta berupaya membentuk
keunikan mereka dengan gaya hidup, penggunaan bahasa, tempat pilihan serta
kegiatan rutin tertentu.
-
Identiitas konsumtif, karena kebiasaan pilihan-pilihan
tempat berkumpul serta bersantai mereka adalah tempat untuk kalangan menengah keatas
yang arti tempat dimana segala barang atau makanan yang dijajakan tidaklah
murah.
- Identitas komersial,
dikarenakan program-program komunitas ini dianggap mengesampingkan sisi
religiutas agama dengan menggelar event bergengsi seperti fashion show
untuk wanita berjilbab, kegiatan show
off bukanlah yang bukan dilandasi nilai religius. Secara ekonomi,
untuk menjadi anggota yang aktif dan mengikuti program komunitas Hijabers
tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan ketiga identitas ini cukup menggolongkan komunitas hijabers
ini secara sendirinya termasuk dalam kelas sosial yang tinggi dan memiliki
status sosial tersendiri. Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu (Gidden, 2005)
melihat kelompok kelas dapat diidentifikasi menurut tingkat mereka bervariasi
dari modal budaya dan ekonomi. Ia menilai bahwa individu saat ini tidak lagi
membedakan diri menurut faktor ekonomi saja akan tetapi juga menurut selera
budaya dan perburuan kesenangan. Bagi Giddens, hal ini ada kaitannya dengan
faktor-faktor budaya seperti pola gaya hidup dan konsumsi. Identitas individu
disusun untuk tingkat yang lebih besar sekitar pilihan gaya hidup - seperti
cara berpakaian, cara makan, cara merawat tubuh seseorang, tempat untuk
bersantai - dan kurang lebih sekitar indikator kelas tradisional seperti
pekerjaan.
Stratifikasi dalam kelas atau antar kelas tidak lagi tergantung
hanya pada perbedaan ekonomi akan tetapi juga cenderung terletak pada perbedaan
dalam konsumsi dan gaya hidup. Hal ini didasarkan pada tren dalam masyarakat
secara keseluruhan. Ekspansi yang cepat dari ekonomi jasa dan industri hiburan
dan rekreasi, misalnya mencerminkan peningkatan penekanan pada konsumsi di
negara-negara industri. Masyarakat modern telah menjadi masyarakat konsumen,
yang sengaja diarahkan untuk perolehan barang material.
Dengan adanya status sosial yang tertera pada hijabers inilah yang
membuat banyak wanita di Indonesia berusaha untuk mencapai lingkungan tersebut
dengan menggunakan hijab sebagai “alat” kunci masuk strata sosial tersebut. Saat
ini, bisa kita temukan dengan mudah siswi-siswi sekolah, mahasiswi-mahasiswi,
dan wanita muslimah di Indonesia yang banyak merelakan uangnya untuk mereka
belikan berbagai macam hijab yang motif dan gayanya sudah tak terhitung lagi
kreatifnya. Muslimah-muslimah ini mencoba mempercantik penampilannya dengan
pakaiannya sehingga dapat dinilai sebagai “hijabers” oleh lingkungan mereka dan
juga hanya sekedar untuk mendapatkan kesan stylish/fashionable sesuai
fenomena hijabers yang mereka lihat dari media-media elektronik.
Upaya menaikkan strata sosial secara naluriah ini memang tidak
nampak pada kasat mata ummu di kalangan masyarakat, karena usaha menaikkan
strata sosial merupakan aktifitas individu yang sifatnya akan langsung
berhubungan dengan niat manusia tersebut. Oleh karena itu, eksistensi dan
komitmen penggunaan hijab akan selalu terikat dengan hati para penggunanya,
karena setiap hijaber pada dasarnya pasti mengetahui apa alasan/motif ia
menggunakan hijab tersebut. Yang menjadi pertanyaan dunia adalah, apakah kelak
ketika hijab fashion di dunia telah mengalami masa redup dan jatuh pada
kelunturan strata sosial, wanita di dunia khususnya muslimah di Indonesia masih
akan mengejar tren hijab dan mengenakan hijab dalam kehidupan mereka?. Jawaban
dari pertanyaan ini hanya waktu yang akan membuktikannya kelak.
Pada akhirnya, tren fashion busana memang tidak bisa manusia
hindari, akan tetapi keyakinan akan prinsip hidup-pun adalah kunci utama tujuan
hidup manusia sehingga dalam setiap sikap yang manusia ambil di kehidupannya
pastinya harus berdasarkan prinsip keyakinan manusia tersebut, dalam hal ini
hijab sebagai pakaian dan islam adalah agama yang sempurna telah memiliki
petunjuk yang sangat jelas dan tepat mengenai hijab (kerudung) dan cara penggunaannya.
Upaya meningkatkan status strata sosial oleh konsumen media yang
mayoritas merupakan generasi muda saat ini juga mengakibatkan terjadinya
degradasi keimanan dan mengikisnya nilai syari’at pada konsep hijab wanita
muslimah. Tentunya hal ini menggambarkan fenomena miris dalam hal konsistensi
syari’at islam yang dialami oleh kaum muslim khususnya di Indonesia.
Sebagai genarasi muslim yang berstatus akademis intelektual,
selayaknya kita dapat secara perlahan turut memperbaiki dan menata kembali
paradigma masyarakat mengenai konsepsi hijab yang sebenarnya sesuai dengan
ajaran Islam. Usaha ini dapat dilakukan dengan menyebarluaskan konsep hijab
syar’i melalui teknik entrepreneur dengan menggunakan semua media
sebagai alat utama dan menjadikan konsep hijab syari menjadi budaya popular dan
dapat di terima oleh masyarakat khususnya wanita Muslimah di Indonesia.
REFERENSI ESSAY
-
Hardiyanti,
Rima. (2012) THE COMMUNITY OF CONTEMPORARY VEIL “HIJABERS” IN MAKASSAR CITY.
Universitas Hasanudin; Makasar .